Memahami kelemahannya sebagai makhluk, itulah yang dicari para Sufi dengan suluk dan wiridnya.
Sebab dari waktu ke waktu, kebanyakan manusia hanya merasakan kemampuannya, kekuatannya dan kepandaiannya.
Betapa nistanya, manusia yang lahir dan menikmati keberadaannya tanpa kehendak sendiri, ternyata sesudah terwujud, ia lupa akan asal-usulnya.
Memusnahkan kesombongan, itulah yang didambakan para Sufi, manakala mereka dengan segala kerendahan hati bersujud dan bermunajah kepada Allah Swt, melebihi yang dikerjakan orang-orang lain.
Dalam kekhusyukannya, mereka nyaris tidak tersisa lagi kediriannya yang rapuh.
Sufi agung Abu Yazid Al Busthami pernah bermimpi bertemu dengan Tuhannya.
Ia bertanya, "Bagaimana menjumpai-Mu tidak dalam mimpi ?"
"Buanglah keakuanmu dan bersimpuhlah di hadapan-Ku", jawab Tuhan dalam mimpi.
Al Busthami lalu bercerita, "Aku pun keluar dari diriku seperti seekor ular dari selongsong tubuhnya."
Menukar keakuan insaniyah yang serba terbatas dan keruh, lalu memasuki alam ruhaniyah yang bening dan terbentang tiada tepi, adalah jenjang ritual untuk berjumpa dengan Tuhan.
Hal ini semua bisa dilakukan hanya melalui ibadah yang ikhlas.